Jumat, 05 Agustus 2016

ABOUT JEAN HENRY DUNANT (PART 2)

Masa yang terlupakan[sunting | sunting sumber]

Bisnis Dunant di Aljazair mengalami kemunduran, sebagian karena devosinya pada cita-cita humanistiknya sendiri. Pada bulan April 1867, bangkrutnya perusahaan keuanganCrédit Genevois mengakibatkan sebuah skandal yang melibatkan Dunant. Dia dipaksa menyatakan pailit dan divonis bersalah oleh Pengadilan Dagang Jenewa pada tanggal 17 Agustus 1868 atas praktik penipuan dalam kasus kebangkrutan tersebut. Keluarganya dan banyak dari teman-temannya sangat terkena dampak dari bankrutnya Crédit Genevois karena mereka banyak berinvestasi dalam perusahaan ini. Masyarakat di Jenewa, sebuah kota dengan tradisi Kalvin yang berakar mendalam, menjadi gusar dan heboh sehingga muncul seruan-seruan agar Dunant mengundurkan diri dari Komite Internasional Palang Merah.
Pada tanggal 25 Agustus 1868, dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sekretaris Komite dan, pada tanggal 8 September, dia dikeluarkan sepenuhnya dari Komite. Moynier, yang menjadi Presiden Komite sejak 1864, berperan besar dalam menyingkirkan Dunant dari Komite.
Pada bulan Februari 1868, ibu Dunant meninggal dunia. Pada akhir tahun itu, Dunant juga dikeluarkan dari YMCA. Pada bulan Maret 1867, dia meninggalkan kota kelahirannya, Jenewa, dan tidak pernah kembali lagi ke sana. Pada tahun-tahun berikutnya, Moynier tampaknya berusaha mempergunakan pengaruhnya untuk memastikan bahwa Dunant jangan sampai menerima bantuan atau dukungan dari teman-temannya. Misalnya, hadiah medali emas Sciences Morales di Pekan Raya Dunia Paris tidak jadi diberikan kepada Dunant sesuai rencana semula, tetapi diberikan kepada Moynier, Dufour, dan Dunant bersama-sama sehingga seluruh uang hadiah tersebut menjadi hak Komite. Tawaran Napoleon III untuk mengambilalih separuh dari kewajiban utang Dunant dengan syarat teman-teman Dunant menjamin pelunasan yang separuh lagi juga digagalkan oleh usaha Moynier.
Dunant pindah ke Paris dan hidup di sana dalam keadaan berkekurangan. Namun, dia terus berupaya mewujudkan gagasan dan rencana kemanusiaannya. Selama berlangsungnya Perang Prancis-Prusia (1870-1871), dia mendirikan Perhimpunan Bantuan Kemanusiaan Bersama (''Allgemeine Fürsorgegesellschaft'') dan, tak lama setelah itu, dia mendirikan Aliansi Bersama untuk Ketertiban dan Peradaban (''Allgemeine Allianz für Ordnung und Zivilisation''). Dunant berargumen tentang perlunya diadakan perundingan perlucutan senjata dan perlunya didirikan sebuah pengadilan internasional untuk memediasi konflik internasional. Kemudian, dia mengupayakan terbentuknya perpustakaan dunia, sebuah gagasan yang mempunyai gema dalam berbagai proyek di kemudian hari, antara lain UNESCO.
Dalam usahanya yang tak pernah berhenti untuk menganjurkan dan mewujudkan gagasan-gagasannya, Dunant semakin mengabaikan situasi keuangan pribadinya sehingga dia semakin terlilit utang dan dijauhi oleh kenalan-kenalannya. Meskipun diangkat sebagai anggota kehormatan Perhimpunan Palang Merah Austria, Belanda, Swedia, Prusia, dan Spanyol, dia nyaris dilupakan dalam perjalanan resmi Gerakan Palang Merah, pun ketika Gerakan ini berkembang pesat ke negara-negara lain. Dunant hidup dalam kemiskinan dan berpindah-pindah tempat antara 1874-1886, termasuk Stuttgart, Roma, Korfu, Basel, dan Karlsruhe. Di Stuttgart, Dunant bertemu mahasiswa Universitas Tübingan (Tübingen University) bernama Rudolf Müller dan kemudian bersahabat karib dengannya. Pada tahun 1881, bersama-sama dengan sejumlah teman dari Stuttgart, Dunant untuk pertama kalinya pergi ke Heiden, sebuah desa peristirahatan di Swiss. Pada 1887, ketika tinggal di London, dia mulai menerima bantuan keuangan bulanan dari sejumlah kerabat jauh. Ini memungkinkan dia untuk hidup dalam kondisi keuangan yang lebih aman. Dunant pindah ke Heiden pada bulan Juli 1887 dan tinggal di desa tersebut selama sisa hidupnya. Sejak 30 April 1892, dia tinggal di rumah sakit dan panti jompo yang dipimpin oleh Dr. Hermann Altherr.
Di Heiden, dia bertemu dengan seorang guru muda bernama Wilhelm Sonderegger dan istrinya Susanna. Mereka mendorongnya untuk mencatat pengalaman hidupnya. Istri Sonderegger mendirikan cabang Palang Merah di Heiden dan, pada tahun 1890, Dunant menjadi presiden kehormatan cabang tersebut. Dengan adanya Sonderegger, Dunant berharap akan dapat mempromosikan gagasan-gagasannya lebih lanjut, termasuk menerbitkan edisi baru bukunya. Namun, persahabatan mereka di kemudian hari menjadi tegang karena Dunant melontarkan tuduhan yang tak dapat dibenarkan bahwa Sonderegger, bersama Moynier di Jenewa, berkonspirasi menentangnya. Sonderegger meninggal pada tahun 1904, di usianya yang baru mencapai 42 tahun. Meskipun hubungan mereka tegang, Dunant sangat terharu dengan kematian Sonderegger yang tak terduga-duga itu. Kekaguman Wilhelm dan Susanna Sonderegger atas Dunant, yang tetap mereka rasakan walaupun Dunant melontarkan tuduhan tersebut, terwariskan kepada anak-anak mereka. Pada tahun 1935, putra mereka, yaitu René, menerbitkan kumpulan surat-surat yang ditulis Dunant kepada ayahnya.

Kembali diingat publik[sunting | sunting sumber]

Pada bulan September 1895, Georg Baumberger, editor kepala Die Ostschweiz, sebuah surat kabar yang terbit di St. Gall, menulis sebuah artikel tentang pendiri Palang Merah tersebut, yang pernah bertemu dan mengobrol dengannya ketika mereka sedang berjalan-jalan di Heiden sebulan sebelumnya. Artikel ini berjudul “Henri Dunant, pendiri Palang Merah” (Henri Dunant, the founder of the Red Cross) dan muncul di sebuah majalah bergambar terbitan Jerman, Über Land und Meer. Dengan segera artikel ini direproduksi di berbagai media lain di seluruh Eropa. Artikel tersebut mendapat sambutan hangat sehingga Dunant kembali memperoleh perhatian dan dukungan khalayak. Dia kemudian menerima Hadiah Binet-Fendt Swiss dan sebuah surat dari Paus Leo XIII. Berkat bantuan dari janda tsar Rusia, yaitu Maria Feodorovna, dan donasi lain dari berbagai pihak, situasi keuangan Dunant sangat membaik.
Pada tahun 1897, Rudolf Müller, yang saat itu sudah bekerja sebagai guru di Stuttgart, menulis sebuah buku tentang asal-mula Palang Merah. Isi buku ini mengubah sejarah resmi Palang Merah dengan menekankan peran Dunant. Buku ini juga mengikutsertakan teks “Kenangan Solferino.” Dunant mulai berkorespondensi dengan Bertha von Suttner dan menulis banyak sekali artikel dan tulisan lain. Dia terutama aktif menulis tentang hak-hak kaum perempuan. Pada tahun 1897, Dunant memfasilitasi pendirian “Green Cross” (Palang Hijau), sebuah organisasi perempuan yang berumur singkat dan hanya aktif di Brussels.

Hadiah Nobel Perdamaian[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1901, Dunant menerima Hadiah Nobel Perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan mengawali proses terbentuknya Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans Daae, yang pernah menerima satu eksemplar buku tulisan Müller itu, mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia Nobel. Hadiah tersebut adalah hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant dan Frédéric Passy, seorang aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga Perdamaian dan yang aktif bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan Peradaban (Alliance for Order and Civilization). Ucapan selamat resmi yang akhirnya diterima Dunant dari Komite Internasional Palang Merah merepresentasikan rehabilitasi nama Dunant:
“Tak ada yang lebih layak untuk menerima kehormatan ini, karena Andalah yang empat puluh tahun yang lalu mendirikan organisasi internasional bantuan kemanusiaan bagi korban luka di medan tempur. Tanpa Anda, Palang Merah, yang merupakan prestasi kemanusiaan yang agung abad kesembilan belas, barangkali tak akan pernah diusahakan.”
Moynier dan Komite Internasional Palang Merah secara keseluruhan juga dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tersebut. Meskipun Dunant memperoleh dukungan dari kalangan luas dalam proses seleksi, dia tetap merupakan calon yang kontroversial. Sejumlah pihak berargumen bahwa Palang Merah dan Konvensi Jenewa justru membuat perang menjadi lebih menarik dan menggoda dengan meringankan sebagian dari penderitaan yang ditimbulkan perang. Oleh karena itu, Müller dalam suratnya kepada Panitia Nobel menyampaikan pendapat bahwa hadiah tersebut perlu dibagi antara Dunant dan Passy, yang sempat menjadi calon utama untuk menjadi satu-satunya penerima hadiah tersebut dalam perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya proses seleksi. Müller juga menyarankan bahwa sekiranya Dunant dianggap layak untuk menerima Hadiah Nobel, hadiah tersebut perlu segera diberikan kepadanya mengingat usianya yang telah lanjut dan kondisi kesehatannya yang sudah memburuk.
Keputusan Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut antara Passy, seorang tokoh perdamaian, dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan, menjadi preseden bagi persyaratan mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang berdampak signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu bagian dalam surat wasiat Nobel menyebutkan bahwa hadiah untuk perdamaian diberikan kepada orang yang berupaya mengurangi atau menghapuskan pasukan tetap (standing armies) atau berupaya untuk scara langsung mempromosikan konferensi perdamaian. Inilah yang membuat Passy secara alamiah terpilih menjadi calon penerima hadiah tersebut berkat usaha-usahanya di bidang perdamaian. Pemberian Hadiah Nobel untuk usaha-usaha di bidang kemanusiaan saja akan menjadi hal yang sangat mencolok, dan hal tersebut dianggap oleh sejumlah pihak sebagai penafsiran yang terlalu luas atas surat wasiat Nobel. Akan tetapi, satu bagian lain dalam surat wasiat Nobel menetapkan hadiah bagi orang yang berprestasi terbaik dalam meningkatkan “persaudaraan antarmanusia” (the brotherhood of people). Ini secara lebih umum bisa ditafsirkan sebagai pesan bahwa usaha-usaha kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh Dunant itu juga terkait dengan usaha-usaha perdamaian. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun-tahun berikutnya yang banyak jumlahnya itu dimasukkan ke dalam salah satu dari dua kategori yang untuk pertama kalinya ditetapkan oleh keputusan Panitia Nobel 1901 tersebut.
Hans Daae berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant, sebesar 104.000 franc Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan mencegah uang tersebut diakses oleh para kreditor Dunant. Dunant sendiri tak pernah memakai sedikit pun dari uang tersebut dalam hidupnya.

Kematian dan warisan[sunting | sunting sumber]

Di antara beberapa penghargaan lain yang diterima oleh Dunant pada tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas Kedokteran University of Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903. Dunant tinggal di panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, dia menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia terus dicari-cari oleh para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant kadang-kadang mendesak juru masak panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih dulu jatah makanannya di hadapan dia agar dia terlindung dari kemungkinan diracuni. Meskipun mengaku tetap berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun terakhir hidupnya menolak dan menyerang Kalvinisme dan agama terorganisasi (organized religion) pada umumnya.
Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir yang dilakukan Dunant dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku tulisan Müller kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan setelah musuh bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada Dunant atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua rival ini tak pernah berrekonsiliasi.
Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di Kompleks Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia mendonasikan sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti jompo di Heiden tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan itu. Dia juga memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada teman-temannya dan kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss. Sisa uangnya dia berikan kepada para kreditornya sehingga sebagian utangnya lunas. Ketidakmampuan Dunant untuk sepenuhnya melunasi utang-utangnya menjadi beban besar baginya hingga hari kematiannya.
Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent Day''). Panti jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Kisah hidup Dunant diceritakan, dengan sejumlah unsur fiksi, dalam film D'homme à hommes (1948) yang dibintangi oleh Jean-Louis Barrault. Masa hidup Dunant ketika Palang Merah didirikan ditampilkan dalam film produksi bersama internasional yang berjudul Henry Dunant: Red on the Cross (2006). Pada tahun 2010, Takarazuka Revue menggelar drama musikal berdasarkan pengalaman Dunant di Solferino dan proses pendirian Palang Merah. Drama musikal ini berjudul ソルフェリーノの夜明け (Fajar di Solferino, atau Kemana Lenyapnya Kemanusiaan?).

Sumber: wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar